|
Ciparay, suasana pegunungan yang sepi di ujung desa. Masih kuingin berlama-lama di sini untuk mendapatkan inspirasiku. |
Makan Udang Cilamaya Hingga ke Panjalu
BENAR perumpamaan kata, ibukota lebih kejam dari ibu tiri!
Terminal udaranya, waduh!
Sewaktu transit dalam perjalanan Surabaya-Pekanbaru, aku melihat banyak calon
penumpang duduk di lantai pada selasar menuju ruang tunggu. Tak ubah seperti
pedagang cincin akik di trotoar Pasar Baru tahun ‘60-an.
Lengkap dengan
rokok, berikut asapnya. Menyambut siapapun yang hendak menuju ruang tunggu, tak
peduli kaum wanita maupun anak-anak. Kelakuan egois yang tidak pada tempatnya.
Di ruang tunggu
tidak ada bangku yang tersisa. Lantai pun jadi tempat duduk yang tampaknya
nyaman-nyaman aja. Duh... inikah yang namanya bandar udara? Inikah kaca depan
Indonesia?
Ketika keluar
dari terminal, wajah asli Jakarta langsung terpapar. Para sopir taksi berebut
menawarkan tumpangan. Jalanan padat merayap. Pedagang makanan menggelar jualan
di pulau jalan. Benar-benar di pulau jalan tak jauh dari gedung DPR. Rupanya
sopir-sopir yang kehausan di saat kendaraannya merambat jadi konsumen mereka.
Sepeda motor
jangan ditanya banyaknya. Di jalur lambat Jalan Sudirman, dari sisi ke sisi sarat kendaraan
roda dua. Sama juga
kondisinya, merambat! Inilah Jakarta sekarang, berbeda
dengan yang kali
pertama aku kunjungi pada 1962, saat Asian Games IV digelar.
Langganan
Wapres
Ke Jakarta kali
ini tujuanku sekadar jalan-jalan, sekalian menjenguk anak cucu di Depok. Dulu aku berkantor
di Jl. Agus Salim. Di tempat sama tersedia guest
house sehingga praktis aku tidak
kemana-mana. Kalau toh pergi, seputaran itu saja, dan nyaris tidak bertemu kemacetan.
Jakarta sekarang
ternyata benar-benar membuat aku malas
pergi. Kalau jalan tol saja macet, apalagi jalan biasa. Aku putuskan hanya main
sama cucu, disamping menjenguk saudara dan teman lama, di antaranya suami istri
Budiono Darsono (pemred deticom) dan Muflihana (Dirut PT Agrakom Para
Relatika).
Lebih baik waktu
yang tersisa aku manfaatkan ke tempat lain. Aku putuskan pergi ke luar Jakarta
--paling tidak tak sesesak ibukota. Ada teman lama tinggal di Bogor, keponakan
di Cikampek, paman di Ciparay, saudara di Bandung, dan tempat nenek moyang
istri di Panjalu.
Aku menuju Bogor
lewat tol. Dulu aku senang lewat jalan tol pertama negeri ini. Di tengahnya ada
taman yang cukup lebar sehingga tol tersebut menyerupai boulevard. Membuat mata tak lelah, apalagi kendaraan yang lewat tak
seberapa banyak. Suasananya seperti jalan bebas hambatan di negeri-negeri
Eropa.
Sekarang taman
rumput itu lenyap menjadi badan jalan. Kenyamanannya sudah jauh berkurang. Kendaraan saling pacu, mendahului dari
kanan maupun kiri. Rupanya menjadi karakter tersendiri, mengabaikan sopan santun berlalu lintas.
Di Bogor yang
tak boleh aku lewatkan taoge gorengnya. Tempatnya di seberang pagar Kebun Raya.
Bagi yang belum pernah menyantap penganan khas Kota Hujan ini, jangan
membayangkan taogenya digoreng. Justru taoge dicelupkan ke kuah mendidih
beberapa detik, lalu ditiris. Kemudian dituang bumbu taoco campur oncom, dan
entah apa lagi. Rasanya benar-benar nendang, apalagi taogenya renyah banget.
Aku juga
melakukan "test food"
masakan yang biasa disantap Wapres Boediono, di Katering Rosa. Kebetulan
pemiliknya teman sekelas waktu masih di Sekolah Dasar. Kami bertemu kembali di
Samarinda, dan beberapa tahun terakhir mereka sukses buka
usaha jasa boga di Bogor.
Konon mereka
sudah menjadi langganan Boediono semasih di Bank Indonesia. Juga Kwik Kian Gie
di Bappenas, serta pejabat-pejabat lainnya. Nah, disini aku mencicipi kepiting
kare yang sungguh sedap, sementara yang lainnya lewat...
Bebek
Bengis
Hari berikutnya,
aku dijemput sepupu, Aep dan anak istrinya. Dulu ia pernah ikut aku, dan
digembleng istriku untuk ngerti usaha. Kerja apa saja, asal bisa jadi duit. Apalagi sekolah hanya sampai
SMA. Singkat cerita,
usahanya maju sampai akhirnya mendapat istri, dapat anak, punya mobil, bahkan
rumah. Sampai suatu ketika krisis ekonomi melanda, dan mereka pulang ke Jawa
Barat.
Tapi kini,
usahanya kembali membaik. Sebenarnya sejak lama ia ingin aku bertandang ke
tempatnya. Tetapi selalu tertunda. Maka ketika kali ini aku menyatakan
keinginan, serta merta mereka menjemput kami ke Depok.
Mulailah
perjalanan panjang kali ini. Mula-mula ke Bekasi, ke rumah sepupuku yang
tertua. Rumahnya tak jauh dari gerbang tol. Ketika mobil berjalan pelahan, aku
baca papan nama sebuah restauran, "Bebek Bengis". Lah...
ada-ada aja membuat nama
yang mirip-mirip branded Bebek Bengil
yang kondang di Ubud, Bali.
Tapi surprise... saat kami disuguh makan malam
seusai magrib, salah satu menunya bebek kriuk. Kulitnya tergoreng kering,
dagingnya matang dan empuk. Ada tiga macam sambal --hijau, bawang merah, dan
terasi. Plus lalapan.
Wah...jangan-jangan
si Bengis nih, pikirku. Enak juga. Aku makan menggunakan tangan, dan
mengabaikan menu lainnya. Terus terang aku jatuh hati, tapi tak sepotong kata
terucap akibat sibuk dengan si bebek.
Sampai si tuan
rumah menawarkan, "Tambah, Mas. Enak ya, bebeknya..."
Aku mengangguk dan sok tahu
menebak, "Bebek Bengis, ya!"
Hahaha...
giliran tuan rumah yang kaget karena aku menebak secara tepat. "Kok tahu,
Mas. Emang pernah makan di sana?"
Sebisanya aku
menjawab. "Tadi kan lewat sana, aku lihat Bebek Bengis. Jangan-jangan terinspirasi
Bebek Bengil. Kalau
rasa ngga lebih enak, apa gunanya susah-susah pake nama mirip? Nah, bebek ini
enak, tentu bebek yang tadi itu. Iya kan?"
Kami semeja
tertawa. Bebek Bengis ala Bekasi. Tentu harganya tak semahal Bebek Bengil yang
hampir Rp 200.000 per porsi. Bedanya lagi, di sini tak ada sawah, obor serta
sayup-sayup gamelan Bali. Tapi sungguh "bengis" dengan harga murah
meriah.
Udang
Cilamaya
Perjalanan
selanjutnya tak terlalu istimewa karena di luar sudah gelap. Hanya lampu
kendaraan bersliweran pertanda padatnya lalu lintas. Tujuan berikut Cikampek,
rumah Aep. Kami lewat tol, dan tetap khas Jakarta, padat!
Kami bermalam di
rumah Aep, tak jauh dari gerbang tol. Esok pagi rencananya ke Cilamaya, sekitar
17 km dari Cikampek arah utara. Di kota inilah tempat Aep membuka toko dan service handphone, serta warnet dengan sepuluh set komputer. Untuk ukuran
kota kecamatan, lumayan besar.
Tidak terlalu
siang kami sudah sampai Cilamaya. Dalam perjalanan, aku mendapat cerita
bagaimana dulu kota kecil itu berkembang pesat. Banyak orang asing yang
mengerjakan proyek minyak. Juga terkenal dengan hasil perikanannya. Terus
terang kuping saya baru kali ini mendengar kata Cilamaya. Kalau Luna Maya...
hahaha, Anda pun tahu.
Ternyata kota
ini tak terlalu luas. Namun melihat jumlah toko yang ada, boleh jadi ekonominya
berkembang. Banyak terdapat rumah walet. Persawahan di pinggir kota juga tampak
subur. Kilang elpiji ikut memberikan denyut jantung kota ini. Juga rencana
pembangunan pelabuhan samudra pendamping Tanjung Priok. Cuma hawanya cukup
panas, seperti lazimnya kota-kota pesisir pantai.
Mereka yang
datang ke toko tak ada henti. Beli pulsa, jual maupun beli HP, tukar tambah,
hingga service. Tiga tenaga khusus
menangani reparasi.
Sebenarnya
urusan HP bukan bidang Aep. Dulu di Surabaya ia menangani Event Organizer. Tapi karena HP memberi peluang usaha, ia bertekad
menekuni bidang ini. Ia sadar dirinya tak mungkin belajar. Tapi ia tak ingin
kehilangan peluang. Ia cari anak-anak muda yang mau kerja.
"Mereka
saya kursuskan sampai mahir. Sesudah itu kerja ikut saya. Toh mereka tetap saya
gaji," ujar Aep.
Di awal-awalnya
dulu, hanya toko dialah yang punya tempat reparasi. Sekarang sudah mulai
banyak. Saatnya Aep mulai memikirkan bidang apalagi setelah ini.
Sebelum kita
meninggalkan toko Aep untuk melihat koleksi benda antik, ada sajian khusus yang
baru diperoleh dari pasar lelang: udang!
Luar biasa nih udang. Gemuk,
padat, kemerahan, 20 cm panjang, gurih. Padahal hanya direbus begitu saja.
Perut yang lapar membuat saya terlahap menyantapnya. Hanya udang, tanpa nasi.
Toh cuma empat ekor yang bisa masuk. Terpaksa lempar handuk...
alhamdulillah!
Dalam keadaan
kekenyangan, aslinya tak berniat lagi melihat benda antik. Apalagi harus turun
mobil dan berjalan sekitar seratus meter.
Namun ketika melihat koleksi
keramik –yang
desain dan kualitasnya
terbilang prima– membuat mata terbelalak. Aku penggemar keramik, tapi
yang ini terbilang langka. Ada Dewa Mabuk setinggi 60 cm, tempat minum
peninggalan abad sebelas, tempayan zaman Dinasti Ming, dan sebagainya.
Wouw... bener-bener wouw!
Terlebih mendengar nilainya. Untuk koleksi sekitar 600 keping itu, sudah
ditawar Rp 16M. Setinggi apa akan dilepas? Tak kurang dari 50! Hmmm...
tentu duit semua tuh!
Rumah
"Mewah"
Dari Cilamaya
kita kembali ke Cikampek dan setelah istirahat sebentar perjalanan dilanjutkan
ke Ciparay. Kita masuk tol menuju Bandung. Kebetulan siang itu agak sepi.
Ketika tol ini baru buka, aku pernah melewatinya. Tak sebagus sekarang
kondisinya. Kanan kiri jalan sudah hijau pepohonan, sehingga suasana tak
membosankan. Langit lagi biru-birunya tapi matahari tak begitu menyengat.
Ketika mendekati Bandung kenanganku justru melayang ke Eropa. Langit biru,
jalan lengang, pengunungan, dengan warna putih di puncaknya. Ciri khas
Switzerland dengan puncak-puncak saljunya.
Aku menikmati
suasana ini dan benar-benar seolah dalam perjalanan antara Geneve ke Lausanne.
Sampai akhirnya tersadar, puncak putih itu bukanlah salju melainkan batu-batu
kapur yang ditambang orang.
Biasanya
orang-orang Jakarta masuk Bandung melalui gerbang Terusan Pasteur. Kendaraan
kami justru terus melaju mengelilingi Kota Kembang menuju selatan. Setelah
keluar tol, pindah ke jalan propinsi, jalan kabupaten, dan jalan desa. Entah
berapa kilometer jarak antara Bandung ke Ciparay, aku hanya menikmati
pemandangan di kanan kiri jalan yang terus menanjak.
Akhirnya sampai
juga ke Ciparay. Kami menuju rumah salah satu Emang (paman) yang udah puluhan tahun ngga bertemu. Kendaraan tidak bisa meneruskan perjalanan karena
kita harus lewat jalan setapak bersemen naik dan turun. Hujan yang baru turun
membuat jalanan licin dan kami harus berhati-hati.
Setelah berjalan
sekitar dua kilometer, sampailah di rumah yang dituju. Benar-benar rumah
"mewah" –mepet sawah! Rumah itu agak di ketinggian, sementara
sawahnya terbentang di lokasi yang lebih rendah dan bertangga-tangga. Matahari
sudah berada di balik gunung, namun sinarnya masih membekas di langit.
Ya Tuhan, nikmat
banget alam-Mu ini. Anginnya dingin
menggigilkan, bau tanah segar menembus rongga dada.
Paman hidup
bersahaja di rumah yang tak kelewat besar. Walau rumahnya tak bagus-bagus amat,
tapi yang membanggakan kebersihannya yang luar biasa. Kami bisa segera
menyesuaikan diri, apalagi bibi menyediakan makan malam ikan goreng plus sambal
dan aneka lalapan, tak lupa jengkol di masak gulai. Yang istimewa, leincak yang
saya kunyah benar-benar renyah karena baru saja dipetik dari pohonnya. Tak
pernah sebelumnya merasakan kereyahan
seperti ini karena leincak di rumah kuperoleh dari Carrefour.
Hari yang
istimewa, setelah siang melahap udang, malam ikan goreng sambal lengkap. Tanpa
sadar aku sudah tertidur kekenyangan di karpet ruang tamu. Di luar kabut mulai
menyelimuti permukaan tanah. Desa Ciparay, keindahanmu membuat aku jatuh
cinta.
Korban
Narkoba
Panjalu... ini
perjalanan terakhirku di (eks) Jawa Barat. Panjalu kali pertama aku dengar 38
tahun lampau ketika mertuaku menyebut kota asalnya. Konon inilah salah satu
petilasan Raja Siliwangi yang sampai sekarang dipercaya bersliweran kekuatan
gaib.
Kami ke makam
leluhur ibu mertua di Bumi Alit. Juru kuncinya yang berusia sekitar 80-an
dengan lancar menceritakan keberadaan makam dan pusaka-pusaka peninggalan yang
tersimpan di dalamnya. Aku hanya mengerti 50-an persen, maklum ia bicara bahasa
Sunda campur Indonesia.
Ada beberapa petilasan,
termasuk yang di seberang danau. Aku langsung memutuskan tidak pergi.
Alasannya, Bumi Alit cukup mewakili semuanya. Kedua, ketika menuju seberang
kita harus menjaga mulut! Jangan bicara sembarangan karena bisa mendatangkan
celaka. Padahal, saudara-saudara istriku sepanjang perjalanan bicara melulu.
Apa bisa nanti mereka berdiam diri? Ketiga, aku dari dulu merasa tidak nyaman
dengan danau. Airnya tenang namun dalamnya tak terkirakan. Tak ingin aku
beramah-ramah dengannya.
Dalam perjalanan
pulang aku melihat ada kompleks bangunan cukup besar di sebelah kanan.
Sebenarnya kita tadi lewat jalan yang sama. Tapi karena posisinya menanjak,
bangunan itu tak terlalu nampak. Kini dari atas lebih kelihatan sosoknya.
"Itu
pesantrennya Abah Anom," ujar kakak iparku. "Banyak yang berdatangan
ke sana, termasuk korban narkoba yang ingin mendapat penyembuhan."
Segera aku ingat
Abah Anom. Pesantrennya, Suralaya, punya cabang di Surabaya. Malah pengajiannya
pada hari-hari tertentu sarat peserta.
Setelah makan
kami meluncur pulang. Aku sudah bosan melihat pemandangan yang mulai tertutup
bayang-bayang malam. Ingin rasanya cepat-cepat sampai, dan tidur. Esok keretaku
pagi-pagi amat menuju Surabaya.
Dalam kebosanan
aku mulai memperhatikan suasana di dalam mobil. Ada kakak ipar dan dua anaknya,
paman yang dari Ciparay, bibi dari
Cilamaya, dan bibi lain dari Bandung. Mereka semua bicara sendiri-sendiri dalam
bahasa Sunda. Kalau ada yang lucu, tertawa. Tetapi tetap saja bicara
sendiri-sendiri. Istriku juga melebur dalam kegayengan yang aku tak mengerti.
Malah ikut menyanyi dalam bahasa Sunda dengan fasih. Baru tahu aku kalau ia selancar itu
bersundaria.
Sungguh suatu
keanehan bagiku. Biasanya, kalau habis makan orang selalu mengantuk. Apalagi di
luar sana gelap adanya. Komunitas yang ini di luar pakem tersebut. Semakin lama
semakin ramai. Ada yang menyanyi, bicara, tertawa, toh masing-masing tetap
saling mendengar!
Suatu pengalaman
yang tak pernah aku jumpai sepanjang hidupku... Itulah komunitas Sunda, di mana
istri yang aku kawini sepanjang 38 tahun berasal. (Yuleng Ben Tallar)