Rabu, 30 Agustus 2017

NAMIRA DAN LANSIA



MASJID Namira sejak lama menjadi pembicaraan. Beberapa teman yang kesana membawa cerita menyenangkan. Rasa penasaran membuat kami ingin melihatnya langsung.

Beberapa kali akan berangkat, ada saja halangan. Sampai suatu saat bertemu teman lama, Sonhadji Zainudin, di FB. Dia dulu wartawan Surabaya Post, namun tiga periode terakhir ini anggota DPRD Kabupaten Lamongan.

Kebetulan, jadi kita ke Namira tak hanya melihat sosok masjid cantik itu. Kita bisa melepas rindu, bersilaturahim dengan kawan lama. Singkat kata, kita janjian bertemu di masjid.

Siang itu terik sangat di bumi Lamongan. Begitu sampai, tidak langsung bisa bertemu Sonhadji yang siap menunggu. Dia pun tak menemukan kami. Rupanya Son masuk ke ruang masjid untuk shalat dhuhur, sementara kami ke tempat wudhu yang sejuk dan nyaman.

Tempat wudhunya mengerti kebutuhan lansia. Ada tempat duduk, ada angkringan kaki. Nyaman kita mengambil wudhu. Airnya pun dingin, lengkaplah membuat diri tidak kegerahan.

Di dalam masjid dengan bangunan luas tanpa pilar, hawa sejuk mengalir dari mesin pendingin. Hanya ada beberapa orang, maklum jamaah dhuhur sudah berlangsung beberapa jam lalu.

Baru setelah selesai salat, aku berjumpa dengan Sonhadji yang kini Wakil Ketua DPRD Kab. Lamongan. Wajahnya sumringah, tampak awet muda. Kami ngobrol berbagai kisah, tentu tak lupa tentang masjid Namira.

Masjid ini awalnya bangunan mungil di tepi jalan. Namun sejak dua tahun lalu, pemodalnya membangun masjid yang lebih besar di bagian belakang. Bangunan lama dipergunakan untuk kantor, atau resepsi perkawinan.

"Beliau pengusaha gas, bangunan, dan beberapa lainnya," ujar Son. Orangnya relatif masih muda. Alhamdulillah, semoga Allah melapangkan usahanya.

Masjid Namira yang minimalis namun indah ini, kini menjadi ikon baru Lamongan. Mendapat banyak kunjungan untuk salat, pun selfie-ria di berbagai pojok masjid.

DARA DAN KOPI

Puas melihat-lihat masjid, Sonhadji mengajak kami makan siang yang agak terlambat. Pilihannya, rumah makan khusus burung dara. Yummy ajalah, maklum lama banget tidak makan hewan bersayap ini.

Yang berkesan, tak jauh dari burung dara ini ada tempat ngopi. Koleksi kopinya dari seantero negeri. Ada Toraja, Bali, Medan, Gayo. Aku memilih yang terakhir sebab tahu kopi itu sedikit keras dengan pahit yang lumayan.

Tempat ini juga memberi kursus untuk calon barista. "Tiga juta untuk dua hari," ujar Ali Salim, yang istrinya pernah kursus di tempat itu.

Setelah lelah hilang kami pun berpamitan pulang. Rencana semula akan mengunjungi teman Djauhari di Gresik. Namun karena tadi berangkat terlalu siang, tak mungkin kami singgah bersilaturahim.

Mungkin lain waktu, kita rencanakan lagi. Itulah silaturahim tak memaksakan diri. Bisa kita lakukan, ya jalanlah. Kalau kemalaman, burung camar pun kembali ke sarang. Demikian pula kami yang sudah lansia ini. (30:08:17).-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar