Catatan
Pengantar
Wanita Tak Pernah Berhenti
|
Nana Masdjedi bersama Yuleng Ben Tallar di Dili, Timor Timur pada saat integrasi |
Saya mengenal wanita ini pada tahun 1976 di kota Dili, Timor Timur, persis satu tahun integrasi wilayah kecil itu ke Republik Indonesia. Ia datang bersama rombongan besarnya untuk tampil menghibur rakyat setempat pada perayaan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus.
Ketika ia membutuhkan seorang peragawan untuk mengimbangi sepuluh peragawati Fit & Chic tampil di catwalk, ia “merekrut” saya sebagai peragawan dadakan. Yang ingin saya ceritakan, betapa seorang Nana Masdjedi bisa berpikir cepat untuk mengatasi suatu permasalahan yang timbul.
Komando teritori setempat menghendaki peragaan itu bertemakan “kemakmuran rakyat membangun negeri”. Padahal mereka telanjur hanya membawa peragawati. Diperlukan figur pria dalam mewujudkan tema tersebut.
Ketika Nana melihat kehadiran saya –saat itu saya sebagai seorang wartawan— serta merta ia meminta kesediaan untuk ikut tampil. Tidak pernah terpikir dalam batin saya untuk meletakkan kamera. Saya orang lapangan yang sedang bertugas. Namun bukanlah Nana kalau ia tidak bisa “memaksakan kehendaknya” demi kepentingan yang lebih besar.
Ternyata dalam kehidupan kesehariannya, wanita ini selalu bertindak cepat. Orang lain belum memikirkan, dia sudah melakukan. Yang lain masih merundingkan, dia malah sudah mewujudkan. Mungkin karena kecepatan berpikir itulah membuat orang lain sulit mengikuti jalan pikirannya. Kerap orang kesulitan menangkap maksud hatinya, toh ia tetap saja berjalan untuk mewujudkan angannya.
Demikian pula nasib buku yang sedang Anda hadapi sekarang. Seharusnya buku ini sudah terbit tahun lampau. Namun di tengah-tengah proses wawancara dan penulisannya, ia minta agar dihentikan sementara. Nana justru ingin saya menulis buku yang lain, yakni tentang kehidupan Prof. Dr. dr. Roemwerdiniadi Soedoko, SpPA (K). Hal ini semata-mata karena ia ingin memberikan hadiah ulang tahun ke-75 kepada peraih penghargaan WHO itu.
Setelah buku Prof. Roem Soedoko yang berjudul Queen of Cancer Control itu terbit, barulah penulisan buku tentang Nana Tommy Masdjedi ini dilanjutkan. Di tengah-tengah perjalanannya kemudian, penulisan ini nyaris kembali dihentikan. Alasannya karena ada kehidupan seorang profesor lainnya di lingkungan Universitas Airlangga yang perlu didahulukan. Kali ini sayalah yang menolak dengan alasan ingin fokus menyelesaikan bukunya terlebih dahulu.
Demikian pula halnya dengan melukis. Pada saat mood-nya tiba-tiba muncul, ia tak peduli situasi sekeliling. Nana akan mengambil cat berikut kuasnya, menorehkan warna membuat garis-garis yang sedang ia minati. Sama halnya ketika ada tamu yang hadir pada saat ia sibuk menyelesaikan lukisannya. Jangan harap ia berhenti melukis. Ia berhenti kalau memang seleranya mulai memudar, bukan karena kehadiran tamu tersebut.
Nana Masdjedi kerap pula mengambil insiatif untuk memecahkan permasalahan yang timbul. Baik yang menyangkut dirinya, keluarga, maupun teman-temannya. Kalau tidak terbiasa dengan sikapnya ini, kita akan mengira Nana merupakan pribadi yang suka ikut campur urusan orang. Padahal sebenarnya, justru keinginan membantulah yang menyebabkan ia melakukan itu semua.
Itulah Nana Tommy Sunartomo Masdjedi, wanita yang tidak pernah berhenti dengan gagasan-gagasannya. Tidak pernah bisa berpangku tangan melihat situasi yang tak terselesaikan. Melalui buku ini kami berharap sidang pembaca bisa lebih mengetahui perjalanan Nana berikut visi dan misinya dalam menghadapi kehidupan ini. Selamat mengikuti.
Yuleng Ben Tallar
Naik Kereta Uap ke Sekolah
|
Kereta ini masih berjalan hingga tahun '70-an |
Gara-gara ingin ketela goreng,
aku ikhlaskan roti keju
dan telorku
AKU
18 bersaudara, anak kedua perempuan pertama. Mungkin karena saudaraku banyak,
ayah mengajarkan disiplin luar biasa. Banyak sekali aturan dibuat, dan sangat
ketat pelaksanaannya. Pada saat itu aku menilai tindakan ayah cukup strenge, namun belakangan setelah kami
menginjak dewasa, baru sadar kalau itu gaya militer.
Ayahku
memang pejuang kemerdekaan. Apakah ia pensiunan tentara, janganlah bertanya.
Aku tidak paham mengenai itu. Nanti aku ceritakan di lain waktu. Setahuku ia
dekat dengan Angkatan Laut, dan mempunyai tanda jasa cukup banyak. Sekarang semuanya
aku simpan dengan rapi di dalam lemari.
Ketika
aku duduk di bangku Sekolah Rakyat, ayah sudah tidak ada urusan dengan militer.
Kalaupun ada, terbatas mengurus pembangunan gedung Sekolah Rakyat Hang Tuah
yang terletak di seputar kompleks marinir. Selebihnya ayah mengurus hotelnya
yang berada di ujung Jl. Sumatera –sekarang kita kenal sebagai Hotel Sahid
Surabaya. Posisi hotel berlantai dua itu berhadap-hadapan, dan oleh Presiden
Soekarno diberi nama Bima Sakti.
Kendati
masa kecilku banyak di Surabaya, aku bukan asli arek Surabaya. Aku lahir di
kota Lawang pada 17 November 1947. Setelah itu orang tuaku pindah ke Malang, menempati
rumah besar di Jl. Palem. Kenangan kota Lawang yang masih aku ingat adalah
cerita ibuku tentang teman Belandanya, Ny. Girungan. Beliau adalah pelukis dan
pembordir.
Kepada
Ibu ia bercerita, orang yang kerap menggunakan warna-warna keras –seperti
dirinya— umumnya mempunyai karakter yang kuat. Aku tidak tahu warna-warna keras
yang dimaksudkan. Oleh karena itu aku bertanya kepada ibu. Aku masih ingat
ketika ibu menjawab sambil mengulangnya sampai dua kali. “Warna keras itu
merah, kuning dan hijau.”
Entah
karena penjelasan ibu yang sangat tertanam di otakku ketika itu, atau memang
karakterku yang kuat, ternyata dalam kehidupanku selanjutnya aku begitu menyenangi
warna-warna keras. Toh akhirnya aku lebih percaya, apa yang ditanamkan ibu
itulah yang mempengaruhi karakterku.
Kalau
di Lawang masalah warna yang mempengaruhi kehidupanku, lain lagi di Malang.
Keluarga kami begitu dekat dengan Tante Kus Adelina, istri Om Halim
Perdanakusumah (alm) –penerbang yang gugur setelah pesawatnya jatuh. Tante Kus
mempunyai seorang putera bernama Yan Perdanakusumah yang biasa aku panggil Yeni.
Suatu ketika kelak sama-sama pindah ke Surabaya, dan secara kebetulan rumah kami
saling berdekatan.
Entah
mulai kapan keluarga kami pindah ke Surabaya, menempati rumah yang tak kalah
besarnya di Jl. Diponegoro 19-21. Yang aku ingat, saat duduk di sekolah Taman
Kanak-kanak aku sudah ada di kota itu. Aku bersekolah di dua tempat, TK Hang
Tuah tak jauh dari rumah, dan TK Atarbiah di kampung Arab yang lumayan jauh
dari tempat tinggalku. Di masing-masing TK itu aku masuk selama tiga hari dalam
seminggu.
Bersekolah
di TK Atarbiah itulah aku untuk kali pertama bertemu dengan Pak Kasur dan Ibu
Kasur. Kedua orang ini sangat terkenal di mata anak-anak pada zaman itu. Beliau
berdua banyak memberikan andil dalam hal tarik suara.
Waktu
aku masuk Sekolah Rakyat, tidak jauh-jauh dari rumah kami, yakni SR Hang Tuah.
Lokasinya sama dengan TK-ku sebelumnya. Di SR Hang Tuah aku cukup populer di
kalangan pengajar. Mungkin karena peran ayahku. Beliau bukan pemilik, namun
penyandang dana terbesar dalam pembangunan di sekolah itu. Aku masih ingat bagaimana
ayah mencarikan dana untuk sekolah tersebut. Bukan tidak mungkin file tentang ayah masih tersimpan di
sana sampai sekarang ini.
Bersama Mbok Bakul
Saat
menginjak bangku SMP, aku bosan bersekolah di dekat-dekat rumah. Aku ingin
sedikit agak jauh agar bisa “keluar dari kungkungan” rumahku --yang pintu
pagarnya selalu terkunci rapat. Aku ingin seperti anak-anak lainnya. Aku
bersyukur bisa diterima di SMPN 2 Jalan Kepanjen. Sayangnya, ayah masih ketat “mengawalku”. Pergi-pulang sekolah
masih harus diantar sopir menggunakan mobil beliau.
Aslinya
aku ingin seperti anak-anak sebayaku. Pergi sekolah naik sepeda, atau ikut kereta
uap yang lazim kita sebut spur hitam. Kebetulan, kereta tersebut lewat di depan
rumahku. Tapi bagaimana bisa melaksanakan niatku? Tidak mungkin aku menunggu di
halte dekat rumah.
Aku
tidak kekurangan akal. Sejak pagi aku sudah bersiap di mobil. Begitu kereta
lewat, aku perintahkan pak sopir berangkat. Aku suruh susul kereta itu, dan
berhenti di halte berikutnya. Aku segera naik kereta, sementara sopirku
meneruskan perjalanan dan menungguku di halte dekat sekolah.
Ternyata
aku berjumpa dengan teman-temanku yang sudah ikut kereta sejak dari Stasiun
Sepanjang. Awalnya kami bergembira bersama di satu gerbong. Kemudian berlarian
dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Aku tak bosan-bosannya naik itu kereta.
Sampai suatu ketika, justru teman-temanku yang bosan. Kami kemudian berganti
posisi. Ketika aku naik kereta, mereka turun dan pindah ke mobilku menuju
sekolah.
Pada
zaman itu, mereka sangat bangga bisa naik Mercedes
Benz. Sementara aku menikmati kesendirianku di kereta uap yang berjalan
lamban dengan suara serulingnya yang khas. Aku bisa melihat mbok-mbok bakul
dengan dagangannya, atau penjual lontong balap berikut pikulannya. Aku
bersyukur bisa melihat kehidupan masyarakat bawah --yang kelak pada saat aku
dewasa membentuk empatiku terhadap mereka.
Rahasia
ini bisa tersimpan dengan aman berkat peran serta sopirku yang selalu setia
menunggu di tempat pemberhentian spur. Dengan demikian orang rumah mengira aku aman-aman
saja pergi bermobil. Sampai suatu hari, ibu keheranan melihat bajuku. “Siapa
yang merokok?” tanyanya sambil menunjuk bekas lubang gosong di seragam
sekolahku.
Ups...
rupanya bunga api dari tungku uap kereta ada yang hinggap di bajuku. Untungnya
aku tangkas memperoleh alibi. “Tadi aku kan buka lebar-lebar jendela mobil. Ada
kereta uap melintas. Mungkin percikan apinya ada yang sampai ke aku...” Jawaban
yang masuk akal, sebab ibu tak lagi bertanya.
Ketika
duduk di bangku SMA, trick serupa
juga aku lakukan. Bedanya, sekolahku kali ini relatif dekat dengan rumah. Ini
terjadi karena menjelang pendaftaran sekolah, aku terbaring di rumah sakit usai
operasi usus buntu. Hilanglah kesempatan untuk bersekolah di SMAN kompleks. Aku
diterima di SMA Brawijaya, itu pun melalui pendaftaran susulan.
Walaupun
dekat –kurang lebih tiga kilometer— aku tetap diantar sopir. Kadang-kadang saja
diantar pak becak langganan keluarga. Aku mencari akal agar bisa mendapatkan
kebebasan. Namun kali ini sasaranku bukan lagi kereta uap. Aku melihat banyak
temanku lewat di depan rumah mengayuh sepeda. Sesuatu yang langka bagi penghuni
rumahku. Aku harus bisa menguasainya, pikirku suatu pagi.
Di
halaman sekolahlah kesempatanku mengenal kereta angin. Aku pinjam milik temanku,
dan berusaha sebisa mungkin mengemudikannya. Kerja kerasku tidak sia-sia. Aku
mulai bisa mengayuh dan menentukan arah. Sampai suatu saat, aku cegat temanku
di tengah jalan arah sekolah. Aku suruh ia duduk manis di mobilku, gantian aku
yang membawa sepedanya.
Duh...
rasanya bangga sekali. Aku bisa mengayuhnya dengan selamat sampai halaman
sekolah. Ini adalah pengalaman pertamaku mengayuh sepeda di jalan raya. Sampai
detik ini aku masih merasa bangga karena tidak satu pun saudaraku yang bisa
naik sepeda. Dan aku satu-satunya anak yang dibelikan sepeda oleh orang tuaku,
kelak ketika aku kuliah di Jogja.
Es Krim Ndeso
Seperti
aku kisahkan di awal tulisan ini, orang tuaku sangat keras mendidik
anak-anaknya. Terutama ayah. Kita tidak pernah berani menyangkal perintahnya.
Kalau pun berani, harus pandai-pandai menyembunyikan rahasia agar jangan sampai
ketahuan. Kalau gagal, kiamatlah!
Nah,
aku punya rahasia kecil. Kali ini soal makanan. Sebenarnya, ibu selalu
menyediakan makanan cukup banyak untuk kami semua. Apa pun nyaris tersedia, kecuali makanan kudapan. Kami memang dilarang keras
mengudap, baik di sekolah apalagi di rumah. Bisa dimengerti karena zaman itu
masih banyak penyakit yang disebabkan makanan yang kurang bersih.
Tapi
anak kecil mana sih yang tidak suka ice
cream? Jangankan yang buatan Ice Cream Palace Zangrandi, es gandul saja
sudah bisa menjadi bahan berebut. Nah dahulu, ada es Nam Sin yang ditawarkan
dari rumah ke rumah. Menggunakan gerobak dorong warna hijau, di dalamnya
tersedia empat hingga enam termos. Kita menyebutnya es blok, sebab bentuknya
segi empat memanjang.
Sebenarnya
es Nam Sin ini jenis es krim murahan yang dibalut coklat keras. Kemudian
dibungkus kertas putih, dan disimpan dalam termos supaya tidak mudah mencair.
Pengemasannya sangat sederhana, jangan dibandingkan dengan ice cream Walls yang sangat populer sekarang ini.
Namun
keistimewaan es krim Nam Sin ini --paling tidak bagi diriku— kemasannya sungguh
khas! Dengan mudah aku bisa membayangkannya, dibandingkan kalau harus mengingat
kemasan ice cream produksi sekarang
seperti Walls, Campina, Cornetto, dan sebagainya. Begitu pula rasanya. Aku bisa
mengingat di ujung lidahku. Khas es krim ndeso,
tapi unforgetable!
Gara-gara
Nam Sin ini pula aku distrap ayahku. Suatu hari yang terik, Pak Min lewat depan
rumah lengkap dengan rombong hijaunya. Dari jauh aku sudah tahu berkat bel
‘ting ting’-nya. Aku cegat, dan suruh masuk ke halaman. Saatnya pesta es krim,
pikirku. Ternyata, aku lupa itu hari pendek. Ayah suka pulang lebih awal. Dan
benar, suara klakson mobil berbunyi dua kali dari balik pintu pagar.
Demikian
ketakutannya, buru-buru aku tarik Pak Min ke kamar lewat jendela. Maksudku,
agar ayah tidak melihatnya. Tapi aku lupa, rombong Pak Min masih ada di
halaman. Maka dengan mudah ayah menemukan Pak Min. Beliau memborong es krim
yang tersisa, dan meletakkan di atas meja.
Setelah
Pak Min dibayar dan disuruh pulang, giliran aku yang mendapat hukuman. Sambil
ditunggui ayah, aku harus menghabiskan seluruh es krim yang ada di atas meja. Benar-benar
“pesta” yang menyiksa. Satu persatu aku masukkan mulut, dan persis es krim yang
keempat aku lari ke kamar mandi. Muntah.
Sejak
saat itu aku kapok makan es krim. Ketika bertemu Pak Min, dengan hati-hati
orang tua itu menawari aku. “Ngga apa-apa mbak, ini gratis dari Pak Min...” Aku
menggeleng, sambil dalam hati menyesalkan kejadian tempo hari. Gara-gara
ayahku, aku selalu mual melihat Nam Sin. Baru kira-kira dua tahun kemudian, aku
kembali normal menerima kehadiran es krim itu di mulutku.
Bertukar Makanan
Kalau
Nam Sin membawa kesialan, tidak demikian jajanan yang ada di sekeliling
sekolah. Kendati kedua orang tuaku tidak memberi uang jajan, bukan berarti aku
tidak bisa mencicipi makanan yang disiapkan mbok Bon. Aku aman-aman saja
melakukan hal itu sejak SMP hingga SMA.
Caranya,
dengan membarterkan bekalku. Setiap pagi, aku selalu membawa roti keju atau
roti berlapis selai, telor rebus, lengkap dengan susu. Kadang aku membawa agak
berlebih, sampai-sampai ibu keheranan melihat porsiku. “Apa habis?” ujarnya.
Aku tersenyum sambil mengacungkan ibu jariku. Sip!, seperti kata anak zaman
sekarang.
Nah,
sesampai di sekolah, bekal inilah yang menjadi “senjataku”. Awalnya, ketika itu
aku masih duduk di bangku di SMP, ingin sekali merasakan ketela goreng yang
dibawa temanku. Dengan mudah aku bisa membujuknya. Maka berpindahtanganlah
rotiku dengan ketela goreng. Aku benar-benar menikmati, sesuatu yang belum
pernah aku rasakan sebelumnya.
Hari-hari
selanjutnya, aku bisa merasakan pisang goreng, nagasari, dan bermacam jajan
pasar lainnya. Semuanya hasil barter dengan teman-temanku. Sampai suatu ketika,
aku tahu di meja mbok Bon tersedia lebih banyak lagi jenis kudapan. Aku pun
mencoba memelas ke mbok Bon, dan berhasil! Aku masih ingat sekali, makanan yang
menjadi favoritku adalah es kolak.
Ketika
di SMA, kudapanku mulai aneh-aneh. Aku tukarkan telurku hanya gara-gara ingin
merasakan sensasi makan buah kedondong. Bukan semata rasanya, akan tetapi
bagaimana prosesi memakannya. Anak-anak pria melakukan itu dengan membanting
sekeras-kerasnya ke lantai. Setelah hancur, dikrokoti
begitu saja. Maaf aku tulis dalam bahasa Jawa, sebab tidak ada terjemahannya
dalam bahasa Indonesia.
Sedang
anak-anak wanita menjepitkan buah itu ke daun pintu yang kokoh menempel pada
kusennya. Setelah pecah, baru di makan bagian per bagian. Cara ini tidak bisa
ditiru anak-anak zaman sekarang sebab daun pintu itulah yang bakal jebol tak
tahan menahan beban.
Memakan
kedondong bisa menjadi ritual tersendiri. Kami memakannya secara bersama-sama
–satu buah bisa untuk berdua atau bertiga. Cara memakannya dengan garam bercampur
lombok. Tidak jarang wajah teman-teman memerah akibat kepedasan. Yang
mengherankan, makan rame-rame ini justru mempererat persahabatan kita.
Tak
jarang cerita ini menggugah kenangan lama ketika kami bertemu kembali di saat
sudah sama-sama menjadi orang. Kami tertawa terpingkal-pingkal bersama. Ternyata
buah kedondong bisa mengikat tali persahabatan kita semasa di SMA. (*)
Bakat Muncul dari Masa Lalu
|
Bordiranku |
“Komputer”
di otakku segera sajikan
kenangan
lama. Tiba-tiba aku
mampu
desain bordiran
KALAU
sekarang aku bergumul dengan dunia kesenian, tentunya tidak datang secara
tiba-tiba. Awalnya, memang aku merasa menemukan bakat di perjalanan. Serasa bukan
suatu kesengajaan. Atau, aku memang mempunyai talenta yang luar biasa sehingga
dengan mudah bisa mempelajari sesuatu dengan cepat.
Aku
sendiri heran dibuatnya. Apa yang aku tangani, senantiasa terselesaikan dengan
baik. Ketika aku memanggil guru, ternyata tanganku lebih dahulu dibandingkan
aba-aba sang guru. Sampai suatu ketika aku sempat ketakutan. Bukankah kalau aku
tiba-tiba mampu melakukan sesuatu, juga bisa demikian sebaliknya?
Sampai
detik ini, alhamdulillah aku
menguasai dengan baik seni membordir, membatik, mendesain pakaian, mendesain
perhiasan, dan melukis. Bahkan aku juga memperoleh kelebihan untuk menyembuhkan
orang, serta menjadi mediator. Disamping itu, Allah kerap memanjakan dengan mengabulkan doa-doaku. Apakah semua
itu secara kebetulan?
Tidak
ada suatu kebetulan kalau itu terjadi berulang-ulang. Aku sungguh meyakininya.
Oleh sebab itulah aku berusaha mencari tahu bagaimana bakat-bakat tersebut bisa
sampai pada diriku. Apakah diturunkan begitu saja dari orang tuaku? Atau memang
sudah takdirku? Entahlah. Sampai suatu ketika aku menemukan sebagian rahasia di
balik itu.
Aku
memang bukan penyanyi profesional. Namun ketika aku disuruh melantunkan sebuah
lagu, dengan mudah aku melakukannya. Tidak ada penghalang sedikit pun. Soal
orang lain menyukai atau tidak, itu perkara lain. Namanya juga bukan penyanyi
bayaran. Namun kemampuanku –juga keberanianku-- bukan datang secara tiba-tiba.
Aku
teringat semasa kecilku. Kebetulan ayah dan ibu dekat sekali dengan Ibu Bintang
Soedibyo –atau yang kita kenal dengan sebutan Ibu Sud. Beliau sering datang ke
rumah, atau ayah mengajak kami bertandang ke rumahnya. Seperti kepada
teman-temannya yang lain, ayah selalu memperkenalkan diriku kepada mereka.
Namun
ada kenangan yang tertanam di benakku pada saat Ibu Sud menyapa. Beliau
memujiku sebagai anak yang manis. Dan memanggilku “Si Item”, tentu dengan penuh
kasih sayang. Lalu beliau menuntunku menuju piano, dan mengajariku menyanyi.
Kata demi kata ia ucapkan, dan dengan mudah aku menghafalnya.
Lagu
itu adalah ciptaan Ibu Sud yang terasa indah sekali ketika aku melantunkan
melalui bibir mungilku. “Bintang kecil...
di langit yang tinggi... amat banyak... menghias angkasa... aku ingin...
terbang dan menari... jauh tinggi... ke tempatmu berada...”
Benar...
itulah lagu yang sangat populer ketika kita masih duduk di bangku TK. Aku
sangat bersyukur karena mempelajarinya langsung dari si pencipta, istri Pak
Bintang Soedibyo. Beliau mengiringiku dengan sentuhan jemarinya pada toet
piano, sementara kedua orang tuaku
menyaksikan dengan bangga.
Sejak
peristiwa itu, aku suka menyanyi. Dan setiap kali bertemu dengan Ibu Sud,
beliau kembali memintaku menyanyi. Lain waktu beliau mengajarkan lagu lain yang
tak kalah indahnya, Burung Kutilang.
Bagi anak seusiaku kala itu, ini semua menjadi kenangan tak terlupakan. Kalau
sekarang aku bisa melantunkan lagu, tak lain berkat kenangan positif di masa
kecil tersebut.
Derita Ibu Fat
Demikian
pula halnya dengan membatik. Sejak aku masih anak-anak, orangtuaku sudah
memperkenalkan pusaka budaya itu. Kebetulan Ibu Sud pembatik yang layak
diperhitungkan. Ayah dan ibu suka mendiskusikan karya-karyanya, termasuk
warna-warna yang kerap dipergunakan.
Rupanya
mereka pengagum batik karya Ibu Sud yang memang sungguh indah dipandang –di
lain bab akan aku dongengkan mengenai Ibu Sud dengan batik-batiknya. Aku masih ingat
karya-karya beliau yang dibeli orangtuaku, yang sebagian besar sekarang menjadi
koleksiku.
Suatu saat ayah juga menunjukkan batik karya
Gusti Nurul dari Mangkunegaran. Beliau dengan lancar menceritakan sejarah asal
usulnya. Ibu dengan seksama mendengarkan sambil melihat-lihat kain panjang itu
dengan teliti. Aku juga mendengarkan namun tidak ingat lagi detail pembicaraan
kedua orangtuaku. Maklum ketika itu aku masih duduk di Sekolah Rakyat.
Ketika
aku menginjak SMP, pengetahuanku tentang batik mulai bertambah. Ini juga berkat
Ibu Sud yang dengan sabar menceritakan ikhwal penciptaan suatu desain. Beliau
menunjukkan batik “Mega Mendung” yang
baru selesai ia kerjakan. Kain itu dominan warna tua –ungu dan hitam.
Mengapa
begitu? Pada saat itu Bung Karno meninggalkan Ibu Fatmawati. Bung Karno di Jakarta,
sedang Bu Fat di Istana Bogor. Peristiwa ini menarik perhatian masyarakat,
menimbulkan rasa simpati kepada Ibu Fat. Apa yang terjadi dalam keluarga nomor
satu itu pun menimbulkan kesedihan pada kalangan rakyat luas.
“Negara
ikut bersedih, itu sebabnya digambarkan dengan warna gelap. Mega mendung sedang
menutupi negeri ini,” ujar Ibu Sud sambil mengusap-usap rambutku. Setiap kali
aku melihat kembali kain Mega Mendung
–yang kemudian dibeli ibuku dan kini menjadi koleksiku— segera saja terbayang
wajah Ibu Sud di hadapanku.
Kalau
di masa kecilku aku hanya mengenal kain batik berikut kualitasnya, justru saat
kuliah di Jogja bisa melihat langsung bagaimana proses pembuatannya. Bahkan aku
memperoleh kesempatan ikut membatik. Hal ini terjadi karena induk semangku
bersedia membagi ilmunya. Beliau adalah putra
wayah kaping pitu dari Hamengkubuwono VII.
Turunkan, Bung!
Orangtuaku,
terutama ayah, sangat menggemari lukisan. Awalnya beliau hanya memuji
karya-karya yang dipamerkan. Atau pada saat melihat lukisan yang digantung di
rumah maupun galeri si pelukis. Namun dari serangkaian pengalamannya itu, baru
ia sadar kalau pelukis tidak sekadar butuh pujian. Mereka lebih memerlukan uang
hasil penjualan lukisan tersebut.
Mulai
saat itu ayah rajin membeli lukisan yang memang ia senangi. Apakah di pameran –ketika
itu terbatas di Gedung Sarinah Jl. Tunjungan dan gedung pertemuan— atau di
rumah pelukisnya. Kerap pula si pelukis membawa sendiri karya mereka ke rumah
di Jl. Diponegoro. Hal inilah yang kemudian menyebabkan ada banyak lukisan di
rumah kami, baik yang tergantung di tembok maupun tersimpan di dalam gudang.
Aku
yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Rakyat, mulai berkenalan dengan lukisan.
Apalagi ayah suka mengajakku pergi ke pameran. Atau menerima pelukis di rumah.
Awalnya aku sempat keheranan. Pelukis itu datang membawa lukisan, namun ketika
pulang lukisannya tidak dibawa. Mengapa? Terakhir baru aku tahu ternyata ayah
membeli lukisan itu.
Pada
saat aku SMP, ayah mengajakku ke rumah Om Bagong Koesoedihardjo di Jogja. Ayah
terlihat antusias mengomentari satu persatu karya Om Bagong. Aku ingat sekali
ketika ayah memuji salah satu lukisan tuan rumah, “Lho... kuwi sing apik! Cobak turunkan, Bung.”
Ayah
juga memerintahkan hal sama untuk beberapa lukisan yang lain. Ketika kami pulang, lukisan-lukisan itu sudah ada di
dalam bagasi. O... baru tahu aku, yang dimaksudkan “turunkan, Bung” berarti
lukisan itu dibeli ayah. Begitu cara ayah melakukannya, pikirku di dalam hati.
Kenangan
bersama Om Bagong tidak mudah aku lupakan. Beliau senang sekali melukis hal-hal
yang berbau Bali, termasuk Barong. Awalnya aku merespon lukisan itu dengan rasa
ketakutan. Apalagi Om Bagong berambut gondrong. Namun dengan sabar beliau
mengatakan, “Barong memang terlihat menakutkan, namun sesungguhnya hatinya
baik.”
Berkat
ucapan beliau, hari-hari selanjutnya aku kemudian mempunyai kesan positif
terhadap barong. Tidak pernah takut lagi, bahkan berani memegang topeng barong
yang dipasang pada gril mobil Mercedes
ayah. Harap maklum, ketika itu sedang tren memasang topeng barong pada bagian
depan mobil.
Di
tempat Om Bagong ini pula aku melihat bagaimana murid-murid beliau berlatih
tari di halaman samping padepokan. Beberapa puluh tahun kemudian baru aku tahu,
Mas Tommy suamiku, pernah menjadi asisten Bagong Koesoedihardjo dalam hal
tari-tarian.
Berbarengan
ke Jogja ini pula ayah mengajakku mampir ke studio yang merangkap rumah pelukis
Affandi. Di sini aku sempat ternganga-nganga melihat bangunan yang terasa aneh
di mataku. Bukan seperti rumah, juga tidak seperti gedung pameran. Namun aku
lihat ayah bisa berbicara gayeng
dengan Om Affandi yang didampingi istrinya. Mereka bicara dengan semangat,
menggunakan kata-kata yang aku tak sepenuhnya mengerti.
Berbeda
ketika ayah mengajakku ke Denpasar, Bali. Kali ini kami mengunjungi studio A.J.
Le Mayeur de Merfles yang berada di tepi Pantai Sanur. Letaknya tidak seberapa
jauh dari Hotel Bali Beach, yang saat itu baru saja diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Di tempat ini perhatianku tidak sepenuhnya tertuju pada lukisan. Kendati ayah
banyak membicarakan karya-karya indah pelukis asal Belgia itu.
Mataku
lebih tertarik pada dandanan Ni Pollok, istri sang pelukis. Wanita Bali ini
mempunyai tubuh bagus dengan kulit warna sawo matang khas Pulau Dewata. Ni
Pollok inilah yang selalu menjadi sumber
inspirasi Le Mayeur dalam menyelesaikan lukisan-lukisannya. Konon keindahan
tubuh itu harus dibayar mahal dengan tidak (boleh) melahirkan anak. Entahlah
kebenarannya.
Namun
lepas dari itu, sebagai siswa kelas dua SMP, aku benar-benar terkagum dengan
penampilan Ni Pollok. Ia mengenakan kain panjang, baju atasan yang ketat dan
terasa seksi di mataku, serta berkerudung warna putih. Jangan dibayangkan
seperti jilbab yang dikenakan wanita muslim, akan tetapi kain yang dibelitkan
di kepala.
Ni
Pollok tampak anggun berkat sepasang giwang besar yang menghiasi daun
telinganya. Aku terkagum-kagum melihatnya. Tidak terbayang bagaimana susahnya memasang
benda itu. Setelah dewasa aku baru tahu rahasia di balik pemasangan giwang
tersebut. Ternyata sederhana saja.
‘Komputerku’ Bekerja
Dalam
perkembanganku kemudian, aku tumbuh sebagai gadis seperti lazimnya anak-anak
lainnya. Pertemanan di bangku sekolah, hingga bergaul dengan anak-anak Surabaya
umumnya. Saat aku remaja, kota Surabaya belum sepadat sekarang. Batas paling
selatan adalah Wonokromo. Lepas dari rel kereta sudah terbilang keluar kota.
Sedang batas barat seputaran Indragiri-Pacuan Kuda-Palmboom. Dan sebelah timur
terbatas rel kereta arah Stasiun Semut.
Mengapa
aku berikan gambaran seperti ini? Agar kalian bisa membayangkan betapa para
remaja saat itu bisa saling mengenal nama, kendati tidak pernah berbicara atau
berhubungan. Jumlah mereka tidak terlalu banyak sehingga kami bisa mengetahui
satu sama lain. Dengan demikian, mudah bagi kami untuk menyimak aktivitas
masing-masing.
Misalnya,
ada yang menari serimpi, tarian tradisional hingga modern, gerak jalan
tradisional Mojokerto-Surabaya, fashion
show hingga pesta muda mudi. Semua kegiatan ini memberikan inspirasi bagi
kita semua. Demikian pula dengan diriku. Kebetulan aku menyukai dunia fashion lengkap dengan perancangan
busana maupun komponen estetikanya.
Hal
ini yang kemudian mendorong diriku untuk memperdalam dunia fashion dengan mengikuti pendidikan di Sekolah Martha Tilaar di
Jakarta pada tahun ’70-an. Alhamdulillah,
aku tercatat sebagai salah satu lulusan terbaik sekolah itu. Aku juga mendapat
kesempatan untuk bekerja di sana. Hal ini semua yang kemudian membawaku tidak hanya
menjadi peragawati di catwalk, namun
juga sebagai perancang pakaian.
Aku
merasa dengan mudah mengerjakan desain-desain pakaian rancanganku. Pun ketika
aku menyelami dunia bordir. Aku teringat teman Belanda Ibuku, Ny. Girungan. Aku
menyukai tema-tema flora dan fauna, sekali-kali lari ke etnik. Sama sekali
tidak ada kesulitan dalam mengejakan semua itu.
Sampai
suatu hari aku berpikir, mengapa segala pekerjaan itu bisa aku lahap begitu
saja? Aku seolah mendapatkan profesi pertamaku dengan demikian mudah. Seolah
aku sudah diciptakan untuk itu. Benarkah demikian?
Setelah
aku ingat-ingat cukup lama, akhirnya aku memperoleh jawabannya. Dunia masa
kecilku ikut mempengaruhi apa yang aku kerjakan kelak di masa dewasa. Aku
teringat bagaimana kedua orangtuaku memperkenalkan aku dengan dunia tarik
suara, batik, bordir, maupun lukisan. Semua kenangan itu tersimpan dengan rapi
di memoriku.
Begitu
aku membutuhkannya pada saat dewasa, “komputer” di otakku segera menyajikan
kembali kenangan-kenangan masa lalu apa adanya. Tiba-tiba aku tidak merasa
harus demam panggung ketika berjalan memperagakan pakaian di catwalk. Pun tidak canggung mendesain
sekaligus mewarnai kain-kain bordirku. Semuanya itu terbantu melalui kenangan
tentang Ny. Girungan. Atau ketika terpesona melihat keanggunan Ni Pollok.
Kemudian
aku berpikir, kalau aku bisa membordir berkat kenanganku dengan Ny. Girungan,
mengapa tidak sekalian membatik? Aku mempunyai banyak kenangan dengan Ibu Sud. Ternyata
berhasil. Aku bisa membatik dengan desain yang cukup baik. Kemudian tantangan
lainnya menyusul. Mengapa tidak melukis seperti apa yang pernah dilakukan Om
Bagong maupun Om Affandi? Ya... mengapa?
Kendati
sudah sedikit terlambat –aku memulai melukis pada usia 59 tahun, dan kali
pertama pameran tunggal persis pada ulang tahunku ke 60— toh aku bisa mengikuti
jejak beliau sebagai pelukis. Aku melukis dengan gaya ekspresionis. Masyarakat
bisa menerima karyaku, dan aku tak henti-hentinya melukis.
Kemudian
muncul “pikiran nakal”. Jangan-jangan aku bisa pula menjadi penyanyi
profesional berkat Ibu Sud yang mengajariku “Bintang Kecil”. Oh Tuhanku... andaikan aku benar-benar berbakat
untuk itu, biarlah aku menerima rezekimu dari lukisan dan kain-kain bordir
maupun batik ini saja... (*)
Mereka yang Punya Hati
|
Foto ilustrasi, suasana dinner zaman tahun '50-an.
Nomor dua dari kanan, mama dari
Yuleng Ben Tallar |
“Ndoro, kok saya bisa bertemu
lagi ya,” ujar Pak Men
sambil sesenggukan
AKU
ingin bercerita sepintas tentang orangtuaku karena dari merekalah sedikit
banyak karakter diriku terbentuk. Juga situasi masa lalu –zaman peralihan dari
kolonial ke republik— yang ikut mewarnai kehidupanku di masa kecil, yang
tentunya tetap membekas sampai aku beranjak dewasa –bahkan menjadi nenek.
Ibuku
adalah gabungan suku Banjar dari eyang putri dan suku Jawa dari eyang kakung.
Rupanya perkawinan antarsuku ini menghasilkan karakter keras dan tegas di satu
sisi, serta lemah lembut di sisi yang lain.
Sementara
ayah lebih unik lagi. Kakek adalah penghafal Al Quran yang sangat santun dalam
bertutur kata. Beliau masih keturunan Sultan Parikesit dari Tenggarong, Kutai,
Kalimantan Timur. Sedang nenek berasal dari Bone, Sulawesi Selatan. Ayah
dibesarkan di Barabai, Kalimantan Selatan. Ketika menginjak dewasa beliau
merantau ke Jawa, persisnya ke Surabaya.
Walau
kakek terbilang lembut, tidak demikian dengan ayah. Beliau bertemperamen keras,
bicaranya pun lantang. Dalam kamusnya, tidak ada yang tidak bisa. Kalau
mempunyai keinginan, tak bakal ia berhenti berusaha sampai maksud hatinya
benar-benar terwujud.
Pada
zaman revolusi, beliau meninggalkan sekolah dan bergabung pada Tentara Pelajar.
Ia ikut berperan dalam pertempuran Surabaya, membendung pendudukan kota oleh
tentara sekutu. Ketika warga Surabaya harus mengungsi akibat tidak seimbangnya
kekuatan senjata, ayah dan kawan-kawan melakukan perang gerilya.
Ketika
Indonesia sudah benar-benar merdeka, ayah bergabung dalam TNI Angkatan Laut.
Namun tampaknya, jiwanya bukan di sana. Suatu saat aku mendengarkan ayah
berbicara dengan seseorang di saluran telepon. “Saya tidak bisa teruskan
menjadi Angkatan Laut karena nanti saya korupsi. Saya ini pedagang. Tapi kalau
AL membutuhkan sesuatu, saya tetap akan bantu...”
Aku
masih ingat kata demi kata yang diucapkan ayahku. Awalnya aku tidak mengerti
maknanya. Akhirnya aku tahu, ayah tidak lagi di Angkatan Laut. Namun kalau
ditanya apakah beliau disersi, pensiun, atau apa... aku angkat bahu. Yang jelas
hubungan dengan teman-temannya di Angkatan Laut masih tetap terjalin dengan
baik. Aku kerap diajak ke markas TNI-AL di kawasan Ujung.
Yang
aku tahu kemudian ayah memang menjadi saudagar. Ia memiliki hotel cukup luas di
Jl. Sumatera. Seperti lazimnya hotel pada zaman itu, sebagian besar
kamar-kamarnya menghadap ke jalan dengan teras di depannya. Tamu bisa
duduk-duduk di kursi rotan sambil melihat lalu lalang kendaraan, termasuk trem
listrik yang pada saat itu masih berfungsi. Tak jarang penjaja koran maupun
makanan menawarkan dagangannya. Ayah pun kerap menerima tamu-tamunya di lobi
hotel, bukan di ruang kerjanya.
Cobekpun Dicuci
Kalau
ayah selalu bicara keras, lain lagi dengan ibuku. Ia hanya bicara keras kalau
dirasakan perlu. Ia lemah lembut mendidik kami. Namun dalam soal disiplin dan
kebersihan, kedua orangtuaku sama-sama strenge.
Ibu selalu menuntut kami merapikan sendiri tempat tidur. Juga menyapu dan
mengepel kamar. Walau aku tahu, sesudah itu masih dibersihkan lagi oleh
pembantu.
Di
rumah kami terdapat 12 kamar tidur yang rata-rata berukuran besar. Selalu ada
kaca cermin di dekat pintu untuk kami mematutkan diri sebelum keluar kamar.
Jangan harap bisa duduk di meja makan dalam keadaan kacau. Ibu akan menyuruhku
pergi.
Pembantu
yang melayani kami di meja makan juga harus rapi. Tidak lupa serbet bersih yang
tergantung di bahunya. Makan adalah ritual tersendiri. Kami sudah harus siap di
meja makan tepat waktunya. Kalau terlambat, tidak boleh bergabung. Demikian
pula ketika selesai makan. Harus tetap di tempat sampai ayah dan ibu bangkit
dari tempat duduk.
Aku
rasa ini aturan standar bagi keluarga pada periode 1950-‘60-an. Mengadopsi cara
barat, kendati kemudian berangsur menemukan bentuk-bentuk tersendiri. Bahwa
kita harus berpakaian rapi, dalam keadaan bersih, dan menyelesaikan makan
secara santun tetap kami pertahankan hingga ke anak cucu.
Apa
yang dahulu diajarkan ibu banyak manfaatnya bagi kami. Paling tidak aku
mengetahui bagaimana menjaga kebersihan di lingkungan keluarga. Memang tidak
seekstrim beliau. Tidak sampai benar-benar “steril”. Namun dasar-dasarnya tetap
aku pegang teguh.
Aku
masih ingat bagaimana ibu memproteksi anak-anaknya untuk tidak njajan di luaran. Oleh sebab itu beliau
selalu menyediakan makanan kecil dari dapur sendiri. Atau kalau beliau
kebetulan keluar, pasti pulangnya membawa oleh-oleh yang dibeli dari toko kue.
Kebetulan di dekat rumah ada toko yang kue-kuenya terkenal lezat, yaitu Delby. Letaknya di seberang Kebun
Binatang, sayangnya sekarang tinggal kenangan.
Tapi
apakah benar-benar kita tidak boleh njajan?
Kali ini rupanya ada perkecualian. Gara-garanya, ibu mendengar dari tetangga,
di depan rumah suka lewat buk Madura penjual rujak cingur yang konon
kelezatannya tiada duanya. Sudah lama ibu ingin merasakannya namun selalu terkendala
masalah kebersihan. Dan ingat, pada zaman tersebut menu rujak cingur belum
masuk ke restoran. Adanya terbatas di sunggian buk-buk Madura itu.
Pada
suatu hari, rupanya ibu tidak tahan lagi melihat si buk lewat di depan rumah.
Maka dipanggillah penjual rujak itu. Namun sebelum masuk ke serambi, ia minta
pembantu mengantarkan si buk ke kamar mandi belakang untuk mencuci kaki, tangan
dan muka terlebih dahulu. Cobek dan penguleknya tak luput dari cuci mencuci.
Pembantu menyikatnya bersih-bersih, demikian pula halnya dengan pisau pengiris
dan buah-buahannya.
“Duh...ndoro” keluh si buk sambil
bersungut-sungut. “Kalau semua pelanggan seperti ndoro, kapan saya jualannya...” Tentu dia mengatakan sambil
bercanda dengan logat Maduranya yang kental. Sewaktu pulang, wajahnya tampak gembira
karena membawa uang cukup banyak. Maklum, seisi rumah pesta rujak cingur untuk
pertama kalinya.
Ajari Pribumi
Di
meja makan, kami banyak belajar dari ayah. Rupanya beliau sangat menguasai table manner –mungkin berkat
pergaulannya yang luas dengan teman-teman Belandanya. Kami diajarkan untuk
tidak berbicara pada saat makan. Kalau toh bicara terbatas berkomentar tentang
makanan yang ada di atas meja. Baru setelah makan selesai, kita boleh
berbincang-bincang.
Dari
beliau pula aku tahu bagaimana cara memegang sendok dan garpu secara benar.
Juga kapan ketika kita menggunakan pisau. Menurut beliau, etika ini sangat
penting artinya karena bisa menunjukkan kualitas seseorang yang sebenarnya. Aku
mulai mengerti setelah ayah mengajakku makan di rumah makan. Beliau menunjukkan
bagaimana kacaunya cara makan orang di meja sebelah.
Ketika
aku bertanya, apakah pengetahuan meja makan ini terbatas untuk kita, beliau
menggeleng. “Kapan-kapan Pak Man kita ajak, supaya tahu bagaimana cara makan
yang benar,” ujar ayah. Aku kaget karena Pak Man adalah pak becak yang suka
membawa aku dan adik-adikku keliling seputar rumah.
“Benar
papi mau membawa Pak Man kemari?” Ayah mengangguk. Ternyata betul juga, suatu
sore ayah menyuruh Pak Man mandi. Ia memberikan kemeja putih dan meminta tukang
becak yang merangkap pak kebon kita itu mengombinasikannya dengan celana coklat
dan peci. Selepas magrib kita berangkat ke Helendoren,
rumah makan berkelas di bilangan Tunjungan.
Pak
Man tampak ragu-ragu ketika akan melangkahkan kaki masuk ke rumah makan itu. Terlihat
beberapa kelompok orang Belanda berada di dalam. Ayah segera memberi isyarat
agar mengikutinya. Ayah sengaja mengambil tempat di sebelah meja orang-orang
Belanda, dan menyuruh Pak Man duduk persis menghadap arah mereka.
Sambil
menunggu makanan terhidang, ayah memberikan “kursus kilat” bagaimana duduk
dengan baik, posisi tangan ketika makan, hingga cara menggunakan alat-alat
makan termasuk serbet. Pak Man hanya mengangguk-angguk dengan rasa cemas di
wajahnya. Dan benar juga, ketika daging bistik tersaji Pak Man berkata pelan, “Ndoro Tuan, Pak Man tidak bisa!”
Aku
melihat dengan kasihan. Tapi ayah hanya tersenyum. Dengan lantang ia berkata,
“Tidak! Kamu harus bisa! Kamu harus pandai seperti orang-orang itu!” Saking
kerasnya ucapan ayah, orang-orang Belanda sampai menengok ke arah kami. Pak Man
sedikit gugup ketika memaksakan diri mengambil garpu dan pisau.
“Hadapi
piringmu. Jangan kau tengok kanan dan kiri. Lihat seperti saya. Pegangi daging
dengan garpu, potong perlahan-lahan,” ujar ayah lagi dengan suara agak dikecilkan.
Pak Man mengikuti, dan tak lama kemudian sepotong irisan tipis masuk ke
mulutnya. Sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ketegangan pada diri Pak Man
mulai sirna. Malah bisa senyum-senyum ketika suapan terakhir selesai. Ia
menirukan ayah menggunakan ujung serbet untuk mengusap mulutnya.
Ayah
tampak bangga bisa mengajari Pak Man –yang di mata Belanda dianggap orang
pribumi. Tapi aku lebih bangga lagi mempunyai ayah yang demikian peduli dengan
bangsanya, tak soal hanya seorang tukang becak. Terlebih, di lain kesempatan
giliran sopir kami yang diajak makan bersama. Aku tidak ikut, tapi mendengar
itu dari cerita pembantuku. “Pak Sopir cerita diajak ndoro tuan makan di restoran. Sampai rumah ia menangis haru menuturkan
pengalamannya,” ujar pembantuku.
Kalau
ayah mengajari cara makan kepada Pak Man, Pak Sopir, maupun pegawainya yang
lain, beda lagi dengan ibuku. Beliau mengajak pembantu makan di restoran –tentu
dengan pakaian yang juga pantas— untuk mengingat rasa masakan yang dihidangkan.
“Wis mbok eling-eling rasane?” Pembantu ibu yang memang jago masak
langsung menjawab, “sampun ndoro
nyonya...” Artinya, ia akan mampu membuat masakan yang sama nanti di rumah.
Pertemuan Mengharukan
Ayah
cukup keras dalam menegakkan disiplin. Kalau ia marah, tak ada karyawannya yang
berani membantah. Namun sesudah itu, ya sudah. Tidak pernah diungkit-ungkit
lagi. Dengan demikian para karyawan merasa mendapatkan pelajaran berharga
sehingga tak akan mengulang kesalahan.
Pernah
aku melihat ayah mengajarkan sendiri cara menata piring kepada anak muda yang
baru bergabung. “Ini harus begini, karena aturannya memang begini. Jangan
mengubah-ubah aturan!” Nadanya seperti marah, tapi memang begitu cirinya dalam
menanamkan pengetahuan agar selalu diingat.
Karena
aku sering ikut ke hotel, maka banyak karyawan di sana yang mengenalku. Mereka
memanggil aku Ndoro Non. Yang tahu
namaku, memanggil Ndoro Non Ana. Aku
selalu berkelakuan baik dan santun terhadap mereka. Ayah mengajariku agar tidak
sombong. Dengan demikian mereka juga menyayangiku. Selalu ada yang menyapa atau
meladeni. Bahkan mengajak bermain ketika mereka sedang beristirahat.
Suatu
ketika beberapa puluh tahun kemudian aku berkunjung ke Zangrandi di Jl. Yos Soedarso. Salah satu karyawannya
mengingatkanku dengan orang hotel. Menggunakan pakaian serba putih dengan kopiah,
di dada tercantum namanya, Jono. Aku tertarik karena ia begitu sopan dalam
melayani pelanggan. Iseng-iseng aku tanya, “Pak, dulu belajar di mana kok Bapak
terlihat berpengalaman?”
Ia
mengaku mendapat didikan dari Pak Haji, yang oleh teman-teman lain sering
dipanggil Ndoro Tuan. Aku sudah
menyangka. Lalu aku tanya lagi, “Pak Haji apa punya anak?” Orang ini
mengangguk. Dengan antusias ia bercerita Pak Haji punya banyak anak. Tapi yang
ia kenal adalah Tuan Sinyo Fauzar, Ndoro
Non Ana, dan Ndoro Non Ida.
Karena merekalah yang kerap datang ke hotel. Ketika menceritakan itu, aku lihat
matanya berbinar-binar.
“Pak
Jono, andai Bapak bisa bertemu dengan mereka, senang ya?” ujarku sambil melihat
reaksinya. Orang tua itu tersenyum sambil menggeleng. “Ya tidak mungkin lah,
Bu. Dulu saya kan masih muda, sekarang sudah tua. Tidak mungkin mereka
mengenali saya.” Kembali aku bertanya, “Kalau benar-benar ada orangnya, Bapak
mau bertemu?”
Pak
Jono tidak menjawab. Hanya keningnya berkerut. Begitu aku mengatakan, “Saya ini
Non Ana,” langsung ia menubrukku. Ia
memelukku sambil meneteskan air mata. Aku juga gembira bisa bertemu dengannya. Orang-orang
di seputar kami keheranan. Malah ada yang bertanya, “Ada apa, Bu?”
Aku
jelaskan, Pak Jono dulu karyawan ayahku di Hotel Bima Sakti. Ia pandai membuat
hiasan dari buah-buahan. Aku sering menunggui sambil melihat keterampilannya.
Kami tidak menyangka secara tak sengaja bisa bertemu lagi setelah berpuluh
tahun tidak jumpa.
Di
lain kesempatan, kisah yang hampir serupa terjadi di kantor Kanwil P dan K Jawa
Timur. Saat bertamu di kantor itu, aku bermaksud ke kamar kecil. Oleh salah
satu pesuruh aku diantar. Namanya Pak Men. Waktu aku tanya, ternyata rumahnya
di daerah Jombang. Karena menyebut kota itu, aku ingat Singo Japanan, sebuah
nama yang aku dengar ketika masih kecil.
“Lha
itu desa saya, Bu,” ujar Pak Men. Aku mulai curiga, jangan-jangan dulu aku
dengar Singo Japanan dari orang ini. Jadi aku tanyakan, dahulu pernah ikut
siapa? Ternyata benar, ia ikut Ndoro
Tuan di Bima Sakti, malah menyebut kenal dengan anak-anaknya. Termasuk Ndoro Non Ana yang dahulu sering naik
punggungnya, main kuda-kudaan.
“Pak
Men, kalau sekarang diketemukan dengan Ndoro
Non Ana, bagaimana?” Jawabannya gamblang, “Ya ngga mungkin, Bu!” Tapi
begitu aku menyebut diriku sebagai Ndoro
Non Ana, spontan Pak Men jongkok dan memeluk kakiku. Dengan sesenggukan ia
mengatakan, “Ndoro, kok saya bisa
bertemu lagi ya ndoro...”
Pak
Jono, Pak Men, maupun Pak Man adalah orang-orang yang mempunyai hati. Mereka
begitu tulus tak melupakan masa lalu. Mereka masih menyimpan kenangan masa
indah tempo hari di hati masing-masing. Tak melupakan bekas majikan yang pernah
mengajari mereka bekerja sekaligus menafkahinya. Tidak mudah menjumpai
orang-orang seperti mereka pada diri pekerja sekarang. Ini karena mereka tidak
sekadar bekerja, namun mereka bekerja menggunakan hatinya. (*)
Dilamar setelah Kecelakaan
|
Dr Tommy dan Nana mengapit Yuleng Ben Tallar dan Nunung Bakhtiar |
Diakah yang jadi jodohku?
Duh... ternyata Tuhan
mengirim Arjunaku
AKU
punya alasan tersendiri meninggalkan bangku kuliah di Fakultas Publisistik,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kendati kota Jogja meninggalkan banyak
kenangan, aku harus pergi ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan di Sekolah
Marta Tilaar. Aku belajar wiraga, hair
styling, dan lainnya. Bidang ini ternyata lebih mudah aku kuasai. Bahkan
sebagai salah satu lulusan terbaik, aku diminta mengajar di tempat itu.
Ibukota
negara dengan berbagai dinamikanya ikut menggembleng masa mudaku. Selain di
Sekolah Marta Tilaar, aku sempat pula bekerja di TVRI. Tugasku untuk mengatur
kepatutan dandanan mereka yang akan tampil di layar kaca. Di tempat ini pula
aku bisa bertemu dengan peragawati senior Sumi Hakim. Juga penyanyi Titiek
Puspa, yang sempat memarahi gara-gara aku salah dalam mengatur rambutnya.
Setelah
merasa bekal pengalaman mencukupi, aku kembali ke Surabaya. Kebetulan
teman-temanku sedang naik daun di bidang fashion.
Ada Enny dan Liliek Soekamto, juga Mariastuti. Dunia fashion pun tak lagi dipandang sebelah mata. Aku bersama
teman-teman kemudian mendirikan kelompok fashion
yang diberi nama Fit & Chic.
Berkat
peragaan ini pula, aku bertemu teman-teman lama ketika masih di SMP. Salah satu
di antaranya adalah Tommy Sunartomo –yang kelak menjadi suamiku. Waktu itu Fit & Chic mengisi acara perayaan tahun baru.
Berawal
dari pertemuan pertama itulah teman-teman melanjutkan dengan pertemuan
berikutnya. Sekadar menjalin silaturahmi sebab saat itu aku dan Mas Tom belum
jadian –meminjam istilah anak zaman sekarang. Namun aku harus meninggalkan
pertemuan karena keperluan mengajar. Nah, sepulang dari mengajar itulah becak
yang aku tumpangi ditabrak mobil. Akibatnya aku dilarikan ke Rumah Sakit
Simpang di Jl. Pemuda.
Aku
ditangani unit gawat darurat di ruangan yang serba horor. Bangunan tua dengan
atap tinggi, sementara tempat tidur beralas perlak merah tua yang jauh dari
bersih. Aku tidak sendirian di situ, bersama beberapa korban kecelakaan lainnya
yang berdarah-darah. Huh... benar-benar suasana yang menyesakkan.
Tenaga
medis cukup kewalahan. Mereka bekerja cekatan. Sayangnya, sejauh itu aku belum
diapa-apakan. Sampai suatu ketika, aku dengar ada yang berteriak, “Tom...
tolong pasien di ujung.” Mendengar nama itu, pikiranku melayang kepada temanku
yang siang tadi sempat bertemu. Diakah?, pikirku di dalam hati.
Ternyata
benar. Dokter Tommy Sunartomo kaget juga melihat aku tergeletak di hadapannya. “Apa
yang terjadi?” ujarnya sambil melihat lukaku. Ia memeriksa dengan teliti,
termasuk memegang kepalaku. “Pusing?” tanyanya. Aku menggeleng berbohong.
Padahal aku benar-benar merasa pusing dan ingin muntah.
Aku
berbohong semata-mata agar pemeriksaan segera selesai dan aku diizinkan pulang.
Ternyata Mas Tom tahu persis kondisiku. Setelah melakukan tindakan dan memberi
sejumlah obat, ia meminta aku tetap tinggal di rumah sakit. Duh... aku harus
opname beberapa hari akibat luka-luka yang aku derita.
Namun
penderitaanku terobati juga. Mas Tom rupanya menaruh perhatian cukup besar
kepadaku. Ia sering mengunjungi untuk melihat keadaan sekaligus kondisi
kesehatanku. Dalam hati aku berpikir, alangkah baiknya pria ini. Sangatlah
indah jika Tuhan sengaja mengirimkan dia sebagai jodohku.
Namun
aku tersipu malu akan tingkahku. Bukankah seorang dokter harus demikian
terhadap pasiennya? Bukan hanya kepadaku, namun juga pasien-pasien lain yang
menjadi tanggung jawabnya. Aku menyadari sepenuhnya hal itu, kendati tetap
menikmati guna mengalihkan penderitaan karena harus tinggal di rumah sakit.
Jangan kalian membayangkan kenyamanan rumah sakit sekarang yang dilengkapi
pendingin ruang dan televisi.
Setelah
kondisiku pulih dan bisa meninggalkan rumah sakit, inilah kebebasanku. Aku bisa
kembali menikmati kenyamanan kamarku, rumahku. Suasana yang benar-benar berbeda
dibandingkan gorden putih rumah sakit. Yang tidak berbeda, ternyata... Mas Tom
tetap mengunjungiku. Rupanya ia menaruh perhatian lebih dari sekadar menghadapi
pasiennya.
Dari
dirinya kemudian aku mengetahui, perhatiannya mulai tumbuh menjadi bibit cinta justru
di tempat kerjanya. Tiga bulan sesudah peristiwa itu, Mas Tom bersama
orangtuanya datang ke rumah untuk melamarku. Duh... Tuhan ternyata benar-benar
mengirim Arjunaku.
Ketukan Menakutkan
Hari-hari
pertama perkawinanku, suamiku masuk pendidikan anestesi. Ia sibuk luar biasa
antara melayani pasien dan mengikuti pendidikan. Hari ini masuk, besok ikut
pendidikan. Demikian setiap harinya. Anestesi ketika itu bukanlah hal yang
mudah. Belum banyak dokter yang mengambil pendidikan itu.
Dalam
hati aku membatin, betapa berat hari-hari yang dihadapi suamiku. Dengan
demikian aku mencoba tahu diri, tidak memberikan beban tambahan kepadanya. Aku
harus mendukung agar ia bisa segera menyelesaikan pendidikannya tepat waktu.
Alhamdulillah, persis satu
tahun pernikahan kami, anak pertamaku lahir. Ia kami beri nama Prananda Surya
Airlangga. Pendidikan Mas Tom belum selesai. Dengan demikian kita harus membagi
tugas. Suamiku meneruskan pendidikannya, aku mengurus buah hati kami. Baru dua
tahun kemudian pendidikan Mas Tom selesai. Bertepatan dengan itu, anakku yang
kedua –Pramita Dewi Surya Airlangga-- lahir. Dua anugerah Allah yang datang
sekaligus, yang sangat kami syukuri.
Tak
lama setelah itu, Mas Tommy mendapat kesempatan mengikuti pendidikan konsultan
anestesi di Prancis untuk waktu dua tahun. Ia berangkat bersama dua temannya
dari Surabaya. Aku mendampinginya, sementara kedua anak kami tinggalkan bersama
neneknya di Surabaya.
Aku
tahu, tinggal di luar negeri untuk suatu pendidikan bukanlah hal yang ringan.
Bukan sesuatu yang bisa dijalani enak-enakan. Kami harus menghemat segala sesuatunya.
Keberadaan Mas Tom di sana bukan sebagai dokter, melainkan mahasiswa peserta
program pendidikan.
Setiap
hari ia harus berjalan kaki menuju metro untuk menumpang kereta ke suatu
jurusan, kemudian berganti ke bus guna mencapai jalur kereta yang lainnya.
Paris belum seperti hari ini yang demikian maju sarana transpotasinya.
Kalau
tidak perlu sekali, aku jarang keluar rumah. Pertama untuk berhemat, kedua
terkendala bahasa. Kalau toh aku pergi dengan istri teman-teman Mas Tom, paling
hanya window shoping ke daerah
pertokoan sepanjang Jalan Champs-Elysees di jantung
Paris. Atau cuci mata di Arch de Triump, tak jauh dari Champs-Elysees. Maklum
saja, kami memprioritaskan pemakaian uang hanya untuk membeli makanan.
Gara-gara
terkendala bahasa itu pula aku pernah ketakutan setengah mati. Siang itu ada
orang mengetuk pintu rumah. Dari lubang pengintip, aku ketahui seseorang
berbadan besar, kulit hitam, berambut keriting. Sesaat aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan. Apa maksud kedatangannya? Aku merasa tidak ada janjian
sebelumnya. Jangan-jangan ia bermaksud jahat. Tapi bagaimana mengetahui maksud
kedatangannya kalau aku tidak bisa berbicara Prancis?
Satu-satunya
jalan, bersembunyi. Aku pergi ke dapur dan mencoba tidak berisik. Orang itu
kembali mengetuk. Diulangnya hingga tiga kali. Ups... radio di kamar masih berbunyi.
Tentu orang itu menyangka ada penghuni di dalam. Aku makin tak berani bergerak.
Benar-benar dilanda ketakutan.
Terlebih,
kemudian aku mendengar orang itu berbicara dengan seseorang, dan tiba-tiba
listrikku padam. Radio tak berbunyi lagi. Untung kami tidak tergantung
pendingin ruangan sebab untuk apa benda itu di negeri yang sudah cukup dingin.
Kalau nanti aku kedinginan, tinggal mengenakan jaket dan bersembunyi di balik
selimut.
Mungkin
karena ikatan pertalianku dengan Mas Tom begitu kuat, tiba-tiba telepon
berbunyi dan suamiku bicara di balik gagang, “Kamu tidak apa-apa?” Aku hanya
bisa menangis. Beberapa saat kemudian baru aku bisa menceritakan kejadian yang
menimpaku. Dengan sabar Mas Tom mendengarkan dan sesekali menghiburku.
Ia
katakan, lain kali dibuka saja pintunya. Ditanyakan apa masalahnya. Nah...
justru itu yang menjadi kendalaku, aku tak mengerti bahasanya. Dia juga tidak
akan mengerti maksudku. Namun Mas Tom dengan sabar memberikan solusi
menggunakan “bahasa isyarat”. Well...
baiklah, untuk next time.
Usut
punya usut, ternyata pria itu adalah petugas listrik. Ia keheranan kok tidak
ada yang menjawab ketukannya, padahal jelas-jelas mendengar suara radio. Maka
kepada tetanggaku ia berpesan akan mematikan sikring agar tidak terjadi apa-apa
dengan rumahku. Rupanya ia berpikir, rumah itu ditinggal pergi penghuninya
dalam keadaan radio masih menyala.
Aku
tidak akan pernah melupakan peristiwa ini. Ketukan menakutkan di siang hari.
Beberapa hari kemudian, pria itu kembali mengetuk pintu. Namun kali ini aku
sudah siap menerimanya. Pintu aku buka, dan ia memeriksa listrik. Ternyata kami
bisa berdialog dalam bahasa isyarat seadanya. Ia mengira aku dari Vietnam
kendati aku katakan dari Indonesia. Namun tetap saja menyebutku orang Vietnam
–negeri yang memang pernah dijajah Prancis.
Om Tommy
Ketika
kami kembali ke Indonesia, anak-anak tumbuh lucu-lucunya. Kakaknya sudah
semakin pandai, bisa bertanggung jawab melindungi adiknya. Prananda yang kami
panggil Erry bisa langsung membaur dengan orang tuanya. Tidak demikian dengan
Mita, adiknya. Ia sempat memanggil Om kepada Mas Tom.
Ketika
dikatakan ini ayahnya, ia tetap berkeras memanggil Om. “Ayahku adalah Ayah
Rubi,” ujarnya. Rubi yang dimaksudkan adalah drg Rubianto, kolega Mas Tom. Rubi
inilah yang sering mengajak Erry dan Mita jalan-jalan. Kebetulan anak Rubi
sepantaran dengan mereka berdua.
Mas
Tom tersenyum geli mendengar anaknya bercerita, “Om, baru-baru ini teman mamaku
meninggal dunia.” Mas Tom geli karena tetap dipanggil Om. Justru aku yang agak
terkejut, siapa yang meninggal? Ternyata Jalal –seorang pelawak terkenal ketika
itu. Aku merasa kehilangan dirinya. Kami bersama 60-an artis pernah
bersama-sama pergi ke Timor Timur menghibur masyarakat setempat merayakan
peringatan satu tahun negeri itu bergabung ke Indonesia.
Keberadaan
Erry dan Mita kemudian disusul dengan anak-anakku yang lainnya. Anak yang
ketiga kami beri nama Putri Kencana Surya Airlangga. Kemudian menyusul si
kembar tiga yang kami beri nama Marina, Marisa dan Marita dengan Surya
Airlangga di belakang masing-masing namanya.
Tidak
terasa waktu berjalan dengan cepatnya. Mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi
yang matang. Kami mendidik anak-anak dengan cukup keras kendati tidak sekeras
pada zaman ayah dan ibuku. Sudah berbeda zamannya. Kalau dahulu apa kata
orangtua harus dibaca sebagai perintah, kini demokrasi lebih dinomorsatukan.
Kami
menyempatkan makan bersama semeja, terutama pada malam hari. Di tempat inilah,
Mas Tom biasanya bertanya permasalahan yang dihadapi anak-anak. Ada saja yang
kami bahas, termasuk ketika Erry tidak tertarik untuk menjadi dokter. Alasannya
sederhana saja, tidak ingin kehabisan waktu seperti ayahnya.
Saya
bujuk dia dengan memberi ilustrasi bagaimana mulianya tugas seorang dokter
dalam menolong orang lain. Toh ia mendapatkan jawaban juga, “Apakah profesi yang
lain tidak bisa menolong orang?” Tidak mudah meyakinkan dirinya, dan kami
berusaha secara perlahan-lahan.
Sampai
akhirnya Erry tertarik dunia kedokteran. Bahkan, ia mengambil spesialis seperti
Mas Tom, sebagai dokter anestesi. Sekarang ia bisa merasakan betapa berat tugas
seorang dokter anestesi yang harus ikut bertanggung jawab dalam suatu tindak
operasi. Ibaratnya, mereka menolong orang kendati dari balik layar. Setelah
merasakan ini semua, Erry benar-benar menikmati profesinya.
Sementara
Mita lebih tertarik dunia psikologi, dan Putri adiknya memilih kedokteran.
Sedang si Kembar, Marina tertarik bidang ekonomi, Marisa mengambil kedokteran,
dan Marita masuk Fisip Komunikasi. Kini semua anakku sudah menyelesaikan
studinya, bahkan si kecil Marisa mengambil spesialis.
Semua
profesi ini adalah pilihan mereka sendiri. Kami sebagai orang tua terbatas
mengarahkan sambil memberikan wawasan. Bukan saatnya lagi untuk mendoktrin
mereka. Ini semua terjadi di meja makan, pada saat semua anggota keluarga
berkumpul. Di sinilah pentingnya sedikit waktu dari kesibukan masing-masing
pihak untuk bisa saling mengisi. (*)