Tinggal
di ’Gudang Senjata’
Saya
menjumpai ibu menangis berkepanjangan.
Saat mencuri dengar, saya tahu kakak terlibat
perobekan
bendera di Hotel Yamato.
Roem Soedoko
Sebenarnya saya bukan siapa-siapa. Hanyalah gadis
desa yang dilahirkan di Blitar pada saat negeri ini masih dijajah Belanda. Dari
keluarga sederhana, Ayah seorang guru dan Ibu mengurus rumah tangga. Selagi di
Blitar kami delapan bersaudara, namun dua di antaranya meninggal dunia selagi
bayi. Saya sendiri sejak kecil sakit-sakitan. Bahkan ketika remaja dan dewasa,
kondisinya masih seperti itu.
Ketika saya duduk di Sekolah Rakyat (sekarang
Sekolah Dasar), Ayah dipindahkan ke Trenggalek sebagai guru HIS (sekolah rakyat
Belanda). Tidak terlalu banyak kenangan yang saya ingat. Yang masih membekas
hanyalah kebiasaan Ayah yang suka tirakat. Beliau jarang makan, kalau toh makan
sekadar mutih –yakni makan nasi dan minum
air putih saja.
Beliau juga jarang tidur. Beberapa kali saya
memergoki Ayah mengambil meja lipat dan membukanya di teras depan. Ada dua meja
seperti itu. Lalu keduanya dijadikan alas untuk meletakkan badan. Ia lakukan
itu setelah seisi rumah masuk ke pembaringan. Dan mengemasinya lagi sebelum yang
lain-lain bangun tidur. Dengan demikian, tak banyak saudara-saudara yang tahu. Dalam
hati, saya suka bertanya-tanya mengapa Ayah harus seperti itu.
Sampai suatu ketika Ayah jatuh sakit dan dilarikan
ke dokter Saleh. Kami biasa memanggil beliau Eyang. Dari Eyang pula kami mendapat
kabar Ayah kekurangan gizi akibat tirakat yang berlebihan. Ayah memerlukan
perawatan cukup lama. Hampir tujuh bulan, dan selama itu pula tidak pulang.
Kami hidup dalam keadaan serba kekurangan.
Dalam penjelasan kemudian, barulah saya tahu mengapa
Ayah sampai tirakat. Sampai mutih,
sampai sakit. Rupanya, beliau melakukan ini semua semata-mata ingin
anak-anaknya kelak mencapai sukses di jalan Allah. Ketika itu saya belum
mengerti apa sebenarnya arti semua itu. Kelak setelah menjadi orang barulah
saya menyadari betapa besar pengorbanan Ayah demi kami semua.
Setelah kesehatan Ayah pulih, beliau terpilih untuk disekolahkan
Belanda ke Yogyakarta. Pendidikan itu mengubah status Ayah dari seorang guru
HIS menjadi penilik sekolah. Tak lama kemudian beliau dipindahkan ke Kepanjen. Kami
sekeluarga ikut serta, menggunakan kendaraan bermotor boyongan dari Trenggalek.
Karena mobil tak cukup mengangkut seluruh anggota keluarga, maka saya disatukan
dalam kendaraan yang mengangkut barang-barang dan para pembantu.
Tak seperti kakak-kakak saya lainnya, saya tidak
protes. Mungkin karena masih kecil, dan termasuk penurut. Tapi dalam hati
sempat berpikir, mengapa saya kok tidak bersama Ayah dan Ibu serta kakak-kakak?
Ya sudahlah, tidak mengapa. Tapi ketika kendaraan
yang saya tumpangi mengalami kecelakaan dan terendam di dalam sungai, kembali
saya bertanya-tanya mengapa saya tidak bersama orang tua? Jika bersama mereka,
bukankah saya tidak mengalami kecelakaan? Beberapa kali pikiran itu mengganggu
diri saya, sampai akhirnya saya menjadi tenang setelah muncul pemikiran yang
lain. Jangan-jangan jika saya berada bersama mereka, justru kami sekeluarga
yang celaka.
Kami tak lama di Kepanjen. Ayah dipindahkan lagi,
kali ini ke Malang. Juga sebagai penilik sekolah. Bedanya, sekolahnya lebih
besar, dan kami juga mendapat rumah besar di pojok (sekarang) Jl. Guntur 33.
Dan situasi politik pun berubah. Belanda jatuh, Jepang mulai berkuasa. Rumah
kami justru bertetangga dengan interniran Belanda, dipisahkan dengan kawat
berduri.
Insiden Yamato
Saya masih ingat, tentara Jepang yang berjaga tak
jauh dari rumah kerap mengajak saya bermain. Mungkin karena ketika itu saya
lucu-lucunya. Gadis umur delapan tahun, kecil, mungil, sakit-sakitan sehingga
harus mengenakan mantel. Mereka kerap mengajak pergi setelah meminta izin ke
Ibu. Saya pun terbiasa dengan mereka. Setelah saya dewasa, barulah mengerti apa
yang kira-kira para serdadu itu rasakan.
Jauh dari keluarga tentu tak menyenangkan. Apalagi
berada di negeri orang dalam keadaan perang. Ingatan akan melayang ke anak-anak
nun jauh di negeri seberang. Kalau kemudian mereka menyenangi saya –yang
kemungkinan sepantaran anak mereka— semata-mata untuk melepas kerinduan.
Lain saya, lain Kakak. Dia selalu membuang muka
setiap kali lewat pos penjagaan Jepang. Boro-boro memberi hormat seperti
ketentuan umum yang berlaku. Tanpa gentar ia lewat begitu saja. Kakak memang
temperamental. Ia kerap datang dan pergi, terutama setelah kami pindah rumah di
Jl. Lawu 6. Temannya banyak, dan suka berada di rumah kami di saat Kakak
bepergian. Mungkin menumpang tempat, tapi saya lebih percaya mereka menjaga
keamanan kami.
Mengapa saya sampai berpikiran demikian? Diam-diam
saya menemukan banyak bendera merah putih di lemari Ibu. Saudara-saudara tidak
ada yang tahu karena Ayah Ibu merahasiakannya. Saya bisa tahu karena sering
ditinggal sendirian di rumah akibat sakit. Dalam kesendirian itulah saya suka
“bergerilya” di rumah.
Bukan itu saja penemuan saya. Beberapa waktu
kemudian, saya juga menjumpai berbagai macam senjata tersimpan di dalam satu
ruangan. Lengkap dengan peluru, granat, dan benda yang saya yakini sebagai bom.
Sebenarnya ruangan itu selalu terkunci. Tapi suatu ketika ada yang teledor
tidak menguncinya. Saya masuk dan menjumpainya. Masya Allah.
Kembali ke masalah bendera. Ketika Ibu tersadar saya
sempat mengetahui, beliau wanti-wanti
agar merahasiakannya. Merah putih, kata beliau saat itu, adalah bendera
terlarang. Terlarang untuk menyimpannya, apalagi mendistribusikan dan
mengibarkan. Asli saya memang tak ingin cerita siapa-siapa karena dasarnya saya
memang pediam. Jadi peristiwa itu benar-benar saya simpan sendiri.
Sampai suatu ketika, saya jumpai Ibu menangis
berkepanjangan. Beliau sedih dan khawatir. Saat mencuri dengar, saya tahu Kakak
terlibat peristiwa perobekan bendera di menara Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit)
di Surabaya. Ibu khawatir akan keselamatannya. Dan Ibu tahu, Kakak memang
sangat berkeras untuk mengganti bendera Belanda menjadi sang dwiwarna.
Ayah hanya bisa menenteramkan hati Ibu dengan mengatakan,
“Sudahlah... sudahlah... relakan anak kita.” Bukannya Ibu menjadi tenang, akan
tetapi makin menangis menjadi-jadi. Ayah sempat kesulitan menenangkan Ibu.
Beberapa saat dalam keadaan tak menentu. Sampai akhirnya Ayah mengajak Ibu
untuk mendoakan keselamatan Kakak.
Dalam usia sembilan tahun saya tidak mengerti apa
arti semua pembicaraan ini. Juga tidak berani menanyakannya kepada Ayah,
apalagi Ibu. Baru setelah agak dewasa saya mulai tahu apa sebenarnya yang
terjadi. Pada hari-hari itu, menjadi buah bibir orang banyak mengenai peristiwa
heroik di Surabaya.
Jepang saat itu kalah perang. Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Pasukan Sekutu di bawah komando
Inggris melucuti tentara Jepang. Dalam keadaan demikian, Belanda mengambil kesempatan.
Tim Palang Merah mereka mengibarkan bendera rood-wid-en
blauw di Menara Yamato. Tindakan ini menyakitkan hati pemuda Indonesia.
Mereka menaiki menara dan merobek bagian biru dan mengibarkan kembali sisanya,
merah putih. Insiden Rabu Wage, 19 September 1945 itu menimbulkan korban jiwa
empat orang di pihak Indonesia, dan seorang di pihak Belanda.
Ibu sangat sedih karena para pelakunya dicari-cari
pihak sekutu. Dari kesedihan yang demikian itu saya meyakini Kakaklah salah
satu pelakunya. Sangat... sangat yakin, kendati tidak bisa mendapatkan saksi
maupun bukti. Hanya tangis dan ketakutan ibulah salah satu kesaksian yang saya
peroleh. Dan sejak itu Saestuhadi, Kakakku, memang jarang pulang ke Malang.
Mengenai “gudang senjata”, lain lagi ceritanya. Tak
lama sesudah peristiwa perobekan bendera, Malang mendapat giliran serangan dari
tentara Sekutu dengan Belanda membonceng di belakangnya. Kebakaran terjadi di
mana-mana. Ayah memerintahkan kami keluar rumah. Beliau khawatir terjadi
apa-apa dengan rumah di pojok Jl. Lawu itu.
Saya juga ngeri sebab seusia itu sempat menyaksikan
sendiri bagaimana bangunan terbakar terkena ledakan bom. Dengan pengetahuan
yang masih terbatas, saya merasa waswas kalau tumpukan bom di rumah ikutan meledak.
Apalagi melihat raut muka Ayah yang tegang sepanjang hari.
Sampai suatu ketika Ayah memutuskan untuk mengungsi.
Pada tengah malam, Ayah dan Ibu membawa kami yang umumnya masih kecil-kecil
meninggalkan Malang menuju Pakisaji. Rumah kami ditinggalkan kosong. Dan
ternyata benar, pagi harinya Malang dibombardir dari segala penjuru. Terjadi
kebakaran di mana-mana, termasuk di dekat rumah. Beberapa bangunan di Jl.
Kayutangan hangus.
Pengungsian dilanjutkan ke Sumber Pucung. Pada saat
Belanda masuk Malang, kami meneruskan pengungsian ke pedalaman. Ayah
dicari-cari Belanda. Mereka bermaksud mengajak Ayah kembali menghidupkan
sekolah. Ayah tak bersedia dan memilih tetap di pengungsian.
Sampai akhirnya Ayah tertangkap dan dibawa ke
Malang. Dalam keadaan tertekan akhirnya Ayah bersedia membuka sekolah.
Pertimbangan warasnya, anak-anak yang masih kecil-kecil sulit diajak mengungsi.
Dan lagi Ibu baru saja melahirkan di pengungsian. Akhirnya kami semua kembali
ke Malang.
Rumah kami aman, dan tak ada informasi mengenai dijadikannya
bangunan itu sebagai gudang senjata. Kemungkinan, pada saat kita mengungsi dan
pertempuran menjadi-jadi, teman-teman Kakak dari PETA memanfaatkan peralatan
perang itu untuk bertahan. Ketika Belanda benar-benar menahlukkan Malang, semua
senjata sudah dibawa bersama mundurnya gerilyawan. Dengan demikian, rumah kami clear. (*)
Catatan: Tulisan ini adalah bab satu dari 28 bab "Queen of Cancer Control",
biografi dari Prof. Dr. dr. Roemwerdiniadi Soedoko, SpPA (K),
Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya. Ia adalah wanita
Indonesia pertama yang mendapat penghargaan dari WHO.
Buku karangan Yuleng Ben Tallar ini (306 hlm), bisa di pesan
di sini dengan harga Rp 60.000 plus ongkos kirim.